Tentang Dusta/Bohong
(Oleh: Ustadz Abu Abdillah al-Atsari)
Definisi Bohong
Raghib al-Ashfahani berkata:
“Asal jujur dan bohong adalah dalam perkataan, baik itu pada perkara yang telah lampau, akan datang, atau berupa sebuah janji. Dinamakan bohong karena ucapannya menyelisihi apa yang ada di dalam hatinya.”
(Fathul Bari, 10/623).
Berkata Imam Nawawi:
“Ketahuilah, madzhab Ahlus Sunnah berkata bahwa bohong adalah mengabarkan sesuatu yang menyelisihi kenyataannya, sama saja engkau sengaja atau tidak sengaja. Orang yang berbohong dengan tidak sengaja, maka tidak ada dosanya, akan tetapi ia akan berdosa apabila melakukannya dengan sengaja.”
(Al-Adzkar, hal. 326, lihat pula Al-Adab asy-Syar’iyah, 1/53)
Hukum Berbohong
Ketahuilah, dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah yang menegaskan haramnya berbohong secara umum sangat banyak. Bohong termasuk dosa yang jelek dan aib yang tercela. Umat ini telah sepakat akan keharaman berbohong, ditambah lagi dengan adanya dalil-dalil yang sangat banyak dalam masalah ini. (Al-Adzkar, hal. 324).
Celaan bagi orang yang berbohong
1. Tidak mengindahkan Perintah Allah
Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya agar tidak mengikuti sesuatu yang tidak ada ilmunya. Orang yang berbohong berarti telah memperturutkan hawa nafsu untuk mengikuti apa yang tidak dia ketahui, dan hal ini terlarang dengan tegas sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al Israa’: 36)
Imam asy-Syinqithi berkata:
“Allah melarang dalam ayat yang mulia ini agar manusia tidak mengikuti apa yang dia tidak mempunyai pengetahuan di dalamnya. Termasuk di dalam hal ini adalah perkataan orang yang berkata: ‘Saya telah melihat’, padahal dia belum melihatnya. ‘Saya telah mendengar’, padahal dia belum mendengarnya. ‘Aku tahu’, padahal dia tidak mengetahuinya. Demikian pula orang yang berkata tanpa ilmu dan orang yang mengerjakan amalan tanpa ilmu, tercakup pula dalam ayat ini.” (Adhwa’ul Bayan, 3/145)
2. Perintah berbuat jujur, larangan akan kebalikannya
Apabila Allah memerintahkan sesuatu, maka mengandung konsekuensi larangan akan kebalikannya. Perintah berbuat jujur, berarti larangan berbohong. Perhatikanlah fiman Allah berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata:
“Firman-Nya ‘Dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar’, yaitu di dalam perkataan, perbuatan, dan dalam keadaan mereka. Ucapan yang terlontar dari mereka benar dan jujur, tiadalah perbuatan dan keadaan mereka kecuali benar, jauh dari rasa malas, selamat dari maksud jahat, berupaya ikhlas dan niat yang shalih. Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 312).
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memuji sifat jujur dan mencela sifat bohong. Cermatilah hadits berikut ini:
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong.” (HR. Bukhari no. 6094, Muslim no. 2607)
3. Petaka lisan
Kata orang, lisan adalah daging tak bertulang, apabila manusia tidak menjaga lisannya, maka kebinasaanlah yang ia dapat. Ingatlah selalu, tidak ada satu ucapan pun yang keluar dari mulut kita, kecuali ada malaikat yang mencatat. Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18)
4. Tanda orang munafik
Berbohong adalah kebiasaan orang munafik. Orang munafik akan selalu menampakkan sesuatu yang menyelisihi apa yang ada dalam benaknya, di antaranya adalah dengan berbohong. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Tanda orang munafik ada tiga: Apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya dia khianat.” (HR. Bukhari no. 6095, Muslim no. 59).
5. Kebinasaan bagi yang berbohong
Berbohong tidaklah dibenarkan, baik sungguh-sungguh ataupun sekedar main-main saja. Sering kita lihat, orang kalau sudah kumpul dengan temannya akan berupaya membuat senang dan tertawa teman-temannya walaupun harus berbohong! Tentunya hal ini tidaklah dibenarkan juga, mengingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
“Celakalah orang yang berbohong agar orang lain tertawa, celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Dawud no. 4990, Tirmidzi no. 2315, Darimi no. 2705, Ahmad 5/7. Dihasankan oleh al-Albani dalam al-Misykah no. 4834).
Sahabat mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bohong tidaklah dibenarkan, baik sungguh-sungguh maupun sekedar main-main.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/363).
6. Adzab yang pedih
Inipun termasuk celaan dan ancaman bagi orang yang berbohong, renungilah kisah dalam hadits berikut ini, bahwa berbohong bukan sekedar dosa yang ringan!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pada suatu malam aku bermimpi didatangi dua orang laki-laki, kemudian keduanya membawaku ke sebuah tempat yang suci. Di tempat itu aku melihat dua orang yang sedang duduk dan ada dua orang yang sedang berdiri, di tangan mereka ada sebatang besi. Besi itu ditusukkan ke tulang rahangnya sampai tembus tengkuknya. Kemudian ditusukkan besi itu pada tulang rahangnya yang lain semisal itu juga, hingga penuh dengan besi…
Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Kalian telah mengajakku berkeliling, sekarang kabarkan kepadaku peristiwa demi peristiwa yang telah aku lihat.” Keduanya berkata: “Adapun orang yang engkau lihat menusuk rahangnya dengan besi, dia adalah seorang pendusta, berkata bohong hingga dosanya itu memenuhi penjuru langit. Apa yang engkau lihat terhadapnya akan terus diperbuat hingga hari kiamat.”
(HR. Bukhari no. 1386, Ahmad 5/14).
Kebohongan yang paling bohong
Bohong bisa dengan berbagai cara. Di antaranya adalah dengan menceritakan mimpi yang sebenarnya dia tidak melihat mimpi itu. Takutlah wahai saudaraku, janganlah engkau terbiasa menceritakan mimpi yang engkau tidak melihatnya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh kedustaan yang paling dusta adalah menceritakan mimpi yang tidak ia lihat.”
(HR. Bukhari no. 7043, Ahmad 2/96).
Berdusta terhadap Allåh dan Råsul-Nya
Sesungguhnya tingkah polah orang-orang yang ingin menghancurkan agama ini sangat beragam, mulai dari orang yang menolak Sunnah dengan mencukupkan berpegang pada Al-Qur’an, atau orang-orang yang menerima sebagian Sunnah dan menolak sebagian yang lain. Yang lebih parah dari semua adalah orang-orang yang berbuat kedustaan terhadap agama yang hanif ini. Mereka berani berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya. Berikut ini sedikit penjelasan tentang bahayanya berdusta atas nama Allah dan Rasul.
1. Berdusta terhadap Allah
Tidak diragukan lagi berdusta atas Allah merupakan dosa yang paling besar dan perbuatan yang paling jelek. Bahkan orang yang berani berdusta terhadap Allah berarti telah mengekor para pendahulu mereka dari kalangan ahli kitab. Allah berfirman:
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78).
Sangat banyak ayat-ayat Allah yang mengancam orang yang berdusta terhadap-Nya. Di antaranya Allah berfirman:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al-An’aam: 144)
Imam ath-Thabari berkata:
“Maka siapakah yang lebih zhalim terhadap dirinya, jauh dari kebenaran, daripada orang yang membuat kebohongan terhadap Allah? Masuk dalam ayat ini pula adalah mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah, dan menghalalkan apa yang tidak dihalalkannya.” (Tafsir ath-Thabari, 8/68).
Firman Allah yang lain:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَّبَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يَصْدِفُونَ
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling.” (Al-An’aam: 157).
Di antara bentuk berdusta atas Allah adalah menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa ilmu, memoles ayat untuk kepentingan hawa nafsunya! Ketahuiolah wahai saudaraku seiman, generasi terbaik umat ini sangat berhati-hati untuk menafsirkan ayat tanpa ilmu.
Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Bumi manakah yang dapat kupijak dan langit manakah yang dapat menaungiku bila aku berbicara tentang Kitabullah tanpa ilmu?”
(Majmu’ Fatawa, 13/371).
Tabi’in yang mulia Masyruq berkata:
“Hati-hatilah kalian dalam menafsirkan Al-Qur’an, karena hal itu merupakan periwayatan tentang Allah.” (Majmu’ Fatawa, 13/374)
Syaikhul Islam mengomentari atsar-atsar di atas:
“Atsar-atsar yang shahih ini dan yang semisalnya dari para imam salaf, dibawa pada keberatan mereka untuk berbicara tentang tafsir yang mereka tidak tahu ilmunya. Adapun orang yang berbicara tafsir dengan ilmu yang ia miliki secara bahasa dan syar’i, maka tidaklah mengapa. Inilah yang wajib ditempuh oleh setiap orang, wajib baginya diam dalam perkara yang ia tidak punya ilmu tentangnya, demikian pula wajib menjelaskan bagi yang ditanya dan ia mengetahui permasalahan tersebut.” (Majmu’ Fatawa, 13/374).
Demikian pula, termasuk perusak dan penghancur agama ini adalah banyaknya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Tidak sedikit orang yang berfatwa tanpa ilmu, menyitir ayat-ayat Allah lalu menafsirkan dengan akalnya yang cekak! Fa innaa lillah wa innaa ilaihi raaji’uun.
Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-A’raaf: 33).
Imam Ibnul Qayyim berkata:
“Allah mengurutkan keharaman-keharaman menjadi empat tingkatan. Dia memulai dengan yang paling ringan yaitu perbuatan keji, kemudian yang lebih berat keharamannya yaitu dosa dan kezhaliman, selanjutnya urutan yang ketiga yang lebih besar keharamannya dari kedua di atas yaitu kesyirikan, dan diakhiri dengan yang paling berat keharamannya dibandingkan semua di atas yaitu berbicara terhadap Allah tanpa ilmu.”
(I’lamul Muwaqqi’in, 1/47).
Firman Allah yang lain:
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (An-Nahl: 116).
Sebagian salaf berkata:
“Hendaklah kalian takut berkata: ‘Allah telah menghalalkan ini dan mengharamkan itu’, kemudian Allah berkata kepadamu: ‘Engkau dusta! Aku tidak pernah menghalalkan ini dan mengharamkan itu.’ Maka tidaklah pantas seseorang berkata tanpa ilmu tentang halal dan haram, atau berkata Allah telah menghalalkan dan mengharamkannya hanya didasari taqlid dan atkwil.” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/47).
2. Berdusta terhadap Rasulullah
Sesungguhnya adanya kedustaan-kedustaan atas diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah pelanggaran besar terhadap beliau. Orang yang berbuat demikian sama saja menghalangi manusia dari agama yang haq. Terlebih lagi bagi orang awam yang selalu menerima apapun yang dikatakan kepada mereka, sekalipun sebenarnya bertabrakan dengan kaidah agama, tuntunan fithrah dan akal.
Berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain dengan membuat hadits palsu, berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata dan mengerjakannya. Orang yang berdusta terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diancam dengan neraka. Bedasarkan hadits-hadits berikut:
Dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersbda:
“Janganlah kalian berbuat dusta terhadapku, sesungguhnya orang yang berdusta terhadapku hendaklah ia masuk ke dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 106, Muslim no. 1).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Barangsiapa yang berdusta atasku, hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (Mutawatir. HR. Bukhari no. 107, Muslim no. 3004).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dosa besar, sedangkan berdusta kepada selainnya termasuk dosa kecil. Maka tidaklah sama ancaman bagi yang berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain beliau.” (Fathul Bari, 1/267).
BOHONG YANG DIBOLEHKAN
Imam Nawawi berkata:
“Ketahuilah, sesungguhnya berbohong itu sekalipun asalnya haram, akan tetapi dibolehkan pada beberapa keadaan dengan syarat-syarat tertentu.”
(al-Adzkar, hal. 325).
Di antara perkara yang dibolehkan untuk berbohong, antara lain:
1. Untuk mendamaikan di antara manusia.
Asal bolehnya hal ini, adalah apa yang diriwayatkan oleh Ummu Kultsum binti Uqbah:
Dari Ummu Kultsum, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukanlah termasuk pembohong orang yang mendamaikan di antara manusia, berniat baik atau berkata baik.”
(HR. Buhari no. 26920)
2. Ketika perang
Perang merupakan tipu muslihat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perang adalah tipu muslihat.”
(HR. Bukhari no. 3030, Muslim no. 1739).
Imam Ibnul Arabi berkata:
“Bohong ketika perang adalah pengecualian yang dibolehkan berdasarkan nash, sebagai keringanan bagi kaum muslimin karena kebutuhan mereka ketika itu.” (Fathul Bari, 6/192, lihat pula ash-Shahihah, 2/86).
3. Antara suami istri
Berdasarkan hadits:
Berkata Ummu Kultsum: “Tidak pernah aku mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan untuk berbohong kecuali pada tiga perkara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidaklah aku anggap seorang itu berbohong apabila bertujuan mendamaikan di antara manusia, berkata sebuah perkataan tiada lain kecuali untuk perdamaian; orang yang bohong ketika dalam peperangan; dan suami yang berbohong kepada istrinya atau istri yang berbohong kepada suaminya.;”
(HR. Abu Dawud no. 4921, dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 54).
Imam Nawawi berkata:
“Adapun bohong kepada istri, atau istri bohong kepada suami, maka yang diinginkan adalah menampakkan kasih sayang dan janji yang tidak mengikat. Adapun bohong yang tujuannya menipu dengan menahan apa yang wajib ditunaikan atau mengambil yang bukan haknya, maka hal itu diharamkan menurut kesepakatan kaum muslimin.”
(Syarah Shahih Muslim, 16/121).
Syaikh al-Albani berkata:
“Bukanlah termasuk bohong yang dibolehkan, apabila suami menjanjikan kepada istrinya yang dia sebenarnya tidak ingin menepati janji tersebut, atau suami mengabarkan kepada istrinya bahwa dia telah membeli ini dan itu lebih banyak dari kenyataannya untuk mencari ridha sang istri. Perkara semacam ini bisa terbongkar, dapat menjadi sebab cekcok serta prasangka buruk seorang istri kepada suaminya, ini termasuk kerusakan bukan perbaikan.”
(ash-Shahihah, 1/818).
Demikianlah yang dapat kami bahas pada edisi kali ini. Untuk memahami lebih luas pembahasan ini silakan lihat Syarah Shahih Muslim (16/121), al-Adzkar (hal. 324-326), keduanya karya Imam Nawawi. Akhirul kalam, semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih, jauh dari kedustaan dan istiqomah menapaki jalan kebenaran. Amiin. Allahu A’lam.
(Disalin dari Majalah Al-Furqan, Edisi: 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/ April 2006)
Apakah tetap dikatakan berdusta jika tidak memaksudkannya?
Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Marwan mengutus Abdullah bin Utbah kepada Subai’ah binti Al Harits untuk menanyakan tentang sesuatu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam fatwakan kepadanya, lalu Subai’ah menceritakan, bahwa dirinya adalah isteri dari Sa’ad bin Khaulah, kemudian dia ditinggal mati olehnya pada saat haji Wada’ dan dia termasuk orang yang ikut serta dalam perang Badar.
Kemudian dia melahirkan sebelum berlalu masa empat bulan sepuluh hari dari kematian suaminya, lalu dia bertemu dengan Abu as-Sanaabil -yaitu Ibnu Ba’kak- setelah suci dari nifasnya dan menggunakan celak.
Kemudian Abu as-Sanaabil berkata kepadanya,
“Tahanlah dirimu -atau kalimat yang serupa dengannya-, mungkin kamu menghendaki nikah, sesungguhnya masa iddahmu adalah empat bulan sepuluh hari dari kematian suamimu.”
(dalam riwayat lain Abu as-Sanaabil berkata:
“Sepertinya engkau ingin menyatakan bahwa sudah baa’ah (selesai iddah dan siap menikah), ketahuilah engkau belum boleh menikah hingga lewat satu dari dua iddah yang terlama…”)
Subai’ah lalu berkata,
“Maka aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kepada beliau apa yang telah dikatakan oleh Abu as-Sanaabil bin Ba’kak.”
(Dalam riwayat lain Rasulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
كَذَبَ أَبُو السَّنَابِلِ
“Abu Sanaabil telah berkata dusta…”
إِذَا أَتَاكِ أَحَدٌ تَرْضَيْنَهُ فَأْتِينِي بِهِ أَوْ قَالَ فَأَنْبِئِينِي فَأَخْبَرَهَا أَنَّ عِدَّتَهَا قَدْ انْقَضَتْ
“Jika seseorang yang engkau sukai datang melamarmu maka datanglah kepadaku atau kabarilah aku, maka Subai’ah mengabari Nabi bahwa iddahnya sudah lewat.”)
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
قَدْ حَلَلْتِ حِينَ وَضَعْتِ حَمْلَكِ
“Kamu telah halal untuk menikah sejak kamu melahirkan kandunganmu.”
(HR. Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim)
Syaikh al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
Dusta artinya ucapan atau khabar yang berlawanan dengan kenyataan/fakta (Waqi’) sedangkan “Benar/Jujur” adalah berita atau khabar yang sesuai dengan fakta/kenyataan.
Jika ada orang yang berkata :“Orang itu telah datang hari ini”,padahal orang itu tidak datang maka ini disebut dusta, meskipun orang itu tidak sengaja mengatakannya.
[Jadi orang boleh saja disebut "telah BERDUSTA", WALAUPUN TIDAK BERMAKSUD dan TIDAK MENYENGAJA untuk BERDUSTA,pent].
Kemudian, Syaikh membawakan hadits diatas sebagai argumen dari pernyataan beliau diatas…
(Lihat Kitab Tafsir Surat al-Kahfi Syaikh al-Utsaimin; sumber salafyitb)
Tidak ada komentar: