Header Ads

test

Alasan Logis Merchant Tetap Pungut Biaya Surcharge Kartu Kredit Tiap Gesek

Praktik surcharge 3 persen atau mengutip biaya surcharge kartu kredit tiap gesek ternyata masih marak. Mengapa?



Merchant berdalih sering kali menjual barang dengan marjin tipis sehingga enggan dibebankan lagi dengan surcharge penggunaan kartu kredit. Surcharge akhirnya tersebut dikenakan kepada pemegang kartu.

Sejatinya, praktik mengutip surcharge terhadap pemilik kartu kredit menyalahi aturan main Bank Indonesia. Bank sentral itu sudah mewanti-wanti sanksi terhadap praktik surcharge lewat Peraturan Bank Indonesia (PBI) no. 11/11/2009 pasal 8.

Di situ ditegaskan kalau penerbit kartu kredit wajib menghentikan kerjasama dengan merchant yang terbukti menerapkan tindakan yang merugikan. Disebut merugikan bila merchant itu diketahui melakukan kerjasama dengan pelaku kejahatan (scamming), praktik gestun (gesek tunai), dan memproses tambahan biaya transaksi (surcharge).

Sanksinya jelas. Penerbit kartu kredit wajib memutuskan kerjasama dengan merchant tersebut. Sayang itu hanya normatif saja. Kenapa?

Sebelum jawab itu, sekarang balik tanya lagi, siapa yang dirugikan dari terputusnya kerjasama itu? Apakah bank atau merchant?

Cek dulu sebelum gesek kena surcharge enggak?

Sebelumnya perlu ditekankan, kerjasama antara merchant dan bank adalah hubungan mutualistik alias saling menguntungkan. Bank selalu memandang merchant yang memiliki omset besar merupakan sumber pendapatan.

Pasalnya, bank mendapatkan komisi atas transaksi yang dilakukan di merchant itu dengan kartu kredit.

Dalam perjanjian kerjasama, bank dan merchant sepakat menentukan nilai merchant discount rate. Itu merupakan komisi yang didapat bank dari tiap transaksi yang dilakukan via kartu kredit. Besarannya rata-rata 3 persen.

Misalnya terjadi transaksi kartu kredit senilai Rp 1 juta di merchant itu. Maka bank berhak atas komisi sebesar 3 persen dari Rp 1 juta yang nilainya Rp 30 ribu.

Bayangkan kalau merchant itu menghimpun nilai transaksi kartu kredit sebesar Rp 100 juta per hari. Artinya bank mendapatkan komisi sebesar Rp 3 juta/hari.

Atas dasar itulah, ketika terjadi transaksi kartu kredit senilai Rp 100 juta, maka bank hanya membayar ke merchant itu hanya Rp 97 juta saja. Sisanya masuk ke kantong bank.

Sekarang apakah merchant ikhlas membaginya dengan bank? Di sinilah muncul praktik surcharge 3 persen tadi.

Penerbit kartu kredit mengutip komisi tiap transaksi



Tidak full-nya pembayaran dari bank ke merchant ini yang jadi sumber keberatan. Merchant enggak mau rugi atau terbebani ‘komisi bank’ terhadap pembayaran kartu kredit yang dilakukan konsumennya.


Di mata merchant, transaksi kartu kredit tak menguntungkan karena mesti berbagi dengan bank. Merchant berdalih pungutan 3 persen itu bukan untuk mengisi brankasnya tapi untuk menalangi ‘komisi bank’.

Jadilah merchant tetap mempertahankan praktik surcharge ini meski sudah dilarang Bank Indonesia. Padahal kalau dipikir-pikir, sebenarnya merchant sudah mendapatkan fasilitas kemudahan transaksi lewat kartu kredit. Kemudahan transaksi itu bisa menjadi nilai tambah konsumen berbelanja di merchant tersebut.

Di lain pihak, bank juga tak mau kehilangan sumber pendapatannya bila memutuskan kontrak dengan merchant tersebut. Bayangkan saja kalau transaksi kartu kredit di merchant itu Rp 100 juta/hari, maka bank mendapatkan bagian Rp 3 juta/hari.

Kalau ditotal selama sebulan, maka bank dapat setoran Rp 90 juta. Itu baru satu merchant saja lho!

Bagaimana kalau jumlah merchantnya sampai ribuan? Silakan hitung pemasukan bank dari transaksi kartu kredit ini.


Jalan tengahSebaiknya pisahkan transaski surcharge kartu kredit dengan transaksi pembelian

Baik merchant maupun bank punya kepentingan dalam transaksi kartu kredit. Jalan tengah yang bisa diambil adalah memberitahukan kepada konsumen tentang adanya surcharge 3 persen jika bertransaksi dengan kartu kredit.

Bila tak masalah dengan biaya itu, maka dianggap konsumen setuju dibebankan surcharge 3 persen. Ketiadaan keluhan dari konsumen ini bisa ‘menolong’ merchant dan bank.

Pasti dong, merchant untung karena terjadi transaksi yang dimudahkan lewat kartu kredit, sedangkan bank juga dapat komisi. Bank tentunya tak mau kehilangan pemasukan gara-gara pemegang kartu kredit enggan menggesekkan kartu kreditnya.


Pihak AKKI lebih berpendapat tidak langsung melarang penerbit kartu kredit memutus hubungan dengan merchant yang menerapkan praktik surcharge. Cara itu malah menjadi batu sandungan kampanye cashless society (transaksi keuangan nontunai) yang didengung-dengungkan Bank Indonesia.

Overall, perlu ditekankan prinsip everybody happy dalam transaksi kartu kredit. Jangan hanya pihak bank atau merchant saja yang mau untung, tapi konsumen malah buntung.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.