Header Ads

test

Penyusutan Fiskal

Salah satu biaya usaha yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, saat menghitung penghasilan kena pajak, adalah biaya Penyusutan. Meski secara umum sama dengan prinsip akuntansi umum, sebenarnya peraturan pajak memiliki ketentuan tersendiri dalam soal penghitungan biaya Penyusutan.
Ketentuan Umum
Melalui ketentuan Pasal 9 ayat (2), UU PPh secara tegas menyatakan bahwa pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.
Pasal 11 UU PPh secara umum berisi ketentuan mengenai penyusutan untuk harta berwujud sedangkan Pasal 11A UU PPh berisi ketentuan mengenai amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud termasuk HGB, HGU, Hak Pakai, Goodwill, dan harta atau asset tak berwujud lainnya.
Namun perlu diketahui bahwa terkait dengan masalah penghitungan penyusutan dan amortisasi fiskal ini, ketentuan pajak atau ketentuan fiskal tidak seluruhnya mengadopsi ketentuan-ketentuan yang ada dalam prinsip akuntansi umum (Standar Akuntansi Keuangan/SAK).  Secara khusus, otoritas pajak telah menetapkan beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam peraturan-peraturan berikut (yang masih berlaku sampai saat artikel ini ditulis):
  1. Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh;
  2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.03/2009; dan
  3. PMK Nomor 249/PMK.03/2008 stdd PMK Nomor 126/PMK.03/2012;
 Prinsip Usia atau Masa Manfaat Harta
Perbedaan pertama antara peraturan fiskal dengan SAK, adalah terkait dengan penentuan apakah harta tersebut boleh dibebankan atau dibiayakan sekaligus pada tahun terjadinya pengeluaran atau harus melalui penyusutan/amortisasi.
Dalam SAK, kita telah tahu bahwa penetapan mengenai hal ini diserahkan sepenuhnya kepada manajemen perusahaan. Artinya manajemen, oleh SAK dibolehkan untuk menentukan bahwa pengeluaran tersebut dibebankan sekaligus pada tahun terjadinya pengeluaran atau biaya. Biasanya manajemen akan memilih membebankan sekaligus terutama jika nilai atau materialitasnya tidak terlalu besar.
Tetapi menurut ketentuan fiskal, sebagaimana bisa kita baca pada redaksional kalimat Pasal 9 ayat (2) UU PPh, pengeluaran atau biaya usaha yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak boleh dibebankan sekaligus. Pengeluaran atau biaya tersebut harus dibebankan melalui penyusutan/amortisasi yang ketentuannya diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh.
Sebagai contoh misalnya pada tahun 2012 Wajib Pajak membeli ordnerwhiteboard, dan perkakas kecil lainnya untuk dipakai dalam kegiatan operasional usaha sehari-hari. Menurut SAK, karena nilai dari perkakas kantor tersebut tidak terlalu besar, maka seluruh harga pembelian perkakas itu boleh dibebankan sekaligus pada tahun 2012.  Akan tetapi secara fiskal, harga beli perkakas tersebut seharusnya tidak dibebankan sekaligus sebagai biaya di tahun 2012 tetapi dibebankan secara bertahap sesuai dengan umur atau masa manfaat perkakas yang bersangkutan.
 Usia atau Masa Manfaat Harta
Dalam menentukan usia atau masa manfaat harta, fiskal juga memiliki aturan tersendiri yaitu seperti yang dicantumkan dalam Pasal 11 maupun Pasal 11A UU PPh. Dalam kedua pasal ini, usia atau masa manfaat harta ditetapkan sebagai berikut:
 Pengelompokkan Harta
Untuk mengetahui di kelompok berapa aktiva atau harta yang kita gunakan, kita—Wajib Pajak—harus melihat pada Lampiran I s.d. Lampiran IV yang ada di PMK Nomor 96/PMK.03/2009. Di lampiran tersebut sudah ditentukan jenis-jenis aktiva untuk masing-kelompok harta yang disebutkan di tabel di atas, sesuai dengan jenis usaha dan kegiatan Wajib Pajak.  PMK ini berlaku umum untuk seluruh Wajib Pajak, kecuali bagi Wajib Pajak yang disebutkan dalam PMK Nomor 249/PMK.03/2008.
Kemudian jika misalnya kita punya aktiva tetapi aktiva kita tidak tercantum dalam Lampiran I hingga Lampiran IV PMK tersebut, maka aktiva kita itu dianggap masuk Kelompok 3. Itu artinya aktiva kita tadi harus disusutkan selama 16 tahun [Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor 96/PMK.03/2009).
Namun jika kita bisa menunjukkan bahwa aktiva kita yang tidak tercantum dalam lampiran-lampiran PMK tersebut bukan termasuk Kelompok 3, maka kita bisa mengajukan permohonan untuk penetapan kelompok atas aktiva kita tersebut sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya. Permohonan ini harus diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP setempat, sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-55/PJ./2009. Tanpa ada surat persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah DJP, aktiva kita yang tidak tercantum dalam Lampiran I hingga Lampiran IV akan tetap dianggap masuk Kelompok 3.
Khusus bagi Wajib Pajak bidang usaha tertentu, ketentuan mengenai penyusutan aktiva atau hartanya diatur secara khusus melalui PMK Nomor 249/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang Penyusutan Atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud Yang Dimiliki Dan Digunakan Dalam Bidang Usaha Tertentu.
Non-Depreciable Assets
Dalam ketentuan fiskal, ada aktiva yang digolongkan sebagai aktiva yang tidak boleh disusutkan (non-depreciable assets) yaitu tanah hak milik, termasuk tanah yang berstatus hak guna bangun, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali. Terkait dengan tanah, hanya perpanjangan hak guna bangun, hak guna usaha, atau hak pakai saja yang boleh disusutkan melalui mekanisme amortisasi sesuai Pasal 11A UU PPh.
Misalnya di tahun 2012 ini kita membeli sebidang tanah seharga Rp 1.500,- dengan rincian Rp 1.000,- sebagai harga pokok tanah, Rp 300,- sebagai penggantian hak guna bangun yang tersisa dan Rp 200,- sebagai biaya notaris dan biaya perolehan lainnya. Dalam hal ini seluruh biaya pembelian tanah Rp 1.500,- tidak boleh disusutkan yang artinya tidak akan pernah ada biaya terkait dengan tanah tersebut.
Jika misalnya terhadap tanah tadi kita perpanjang hak guna bangunnya dengan biaya Rp 500,- untuk masa hak guna bangun 20 tahun, maka terhadap biaya perpanjangan ini bisa disusutkan melalui mekanisme amortisasi seperti yang diisyaratkan Pasal 11A UU PPh.
Menurut penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPh, tanah bisa saja disusutkan dan dibebankan menjadi biaya usaha apabila tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan. Misalnya tanah yang dipergunakan oleh perusahaan genteng, keramik atau batu bata untuk memproduksi genteng, keramik dan batu batanya.
 Depreciable-Not-Deductible
Aktiva atau harta yang tergolong depreciable-not-deductible-assets adalah aktiva-aktiva yang oleh ketentuan dan peraturan pajak dianggap tidak memilki hubungan dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan/3M.
Misalnya saja asset berupa perumahan atau mess karyawan bagi Wajib Pajak yang tidak mendapat penetapan sebagai pengusaha di daerah terpencil. Dalam hal ini, kita boleh saja menghitung penyusutan atas mess atau perumahan tersebut untuk kepentingan penyusunan laporan laba rugi komersial kita. Tetapi saat akan membuat SPT Tahunan PPh, biaya penyusutan mess atau perumahan itu harus dikoreksi positif.
Meski asset yang kita miliki kita gunakan dalam kegiatan usaha atau terkait 3M, tetapi apabila penghasilan dari kegiatan usaha kita itu dikenakan PPh bersifat final, maka penyusutan asset itu pun tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Misalnya jika kita bergerak di bidang usaha jasa konstruksi dan kita memiliki alat-alat berat konstruksi. Dalam hal ini, karena penghasilan dari usaha jasa konstruksi sudah dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2), maka penyusutan atas alat-alat konstruksi itu tidak boleh dibiayakan lagi.
 Depreciable – Deductible Only 50%
Untuk asset berupa kendaraan dinas dan telepon selular milik perusahaan, yang boleh dibawa pulang oleh pegawai tertentu berlaku ketentuan bahwa penyusutannya hanya boleh dibebankan sebesar 50% dari total penyusutan fiskal yang berlaku. Ketentuan ini di atur melalui Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tanggal 18 April 2002 dan dijelaskan lebih lanjut dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-09/PJ.42/2002 tanggal 17 Mei 2002.

Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan oleh UU PPh hanya ada dua, yaitu Metode Garis Lurus/GL (Straight Line Method) dan Metode Saldo Menurun/SM (Declining Balance Method).
Khusus untuk asset atau aktiva berupa bangunan, metode penyusutan yang diperkenankan oleh UU PPh hanyalah Metode Garis Lurus/GL.
Dengan Metode Garis Lurus, biaya penyusutan untuk setiap tahun dihitung dengan cara membagi jumlah biaya perolehan asset dengan masa manfaat asset yang sudah ditentukan oleh Pasal 11 UU PPh.  Misalnya kita membeli komputer dengan total harga perolehan Rp 10.000.000,-. Kemudian jika misalnya komputer itu menurut PMK 96/PMK.03/2009 tergolong sebagai asset Kelompok 1 dengan masa manfaat 4 tahun, maka dengan menggunakan Metode Garis Lurus, biaya penyusutan per tahunnya = Rp 10.000.000,00/4 tahun = Rp 2.500.000,00/tahun.
Jika penyusutan komputer dihitung dengan Metode Saldo Menurun (SM), maka besarnya penyusutan untuk masing-masing tahun akan berbeda. Penyusutan pada awal-awal tahun akan lebih besar dibandingkan dengan akhir tahun.
  • Penyusutan Tahun ke-1: = Rp 10.000.000,00 x 50% = Rp 5.000.000,00
  • Penyusutan Tahun ke-2: = (Rp 10.000.000,00 – Rp 5.000.000,00) x 50% = Rp 2.500.000,00
  • Penyusutan Tahun ke-3: = (Rp 10.000.000,00 – Rp 5.000.000,00 – Rp 2.500.000,00 ) x 50% = Rp 1.250.000,00
  • Penyusutan Tahun ke-4: = seluruh nilai sisa buku fiskal (Rp 10.000.000,00 – Rp 5.000.000,00 – Rp 2.500.000,00 – Rp 1.250.000,00 = Rp 1.250.000,00) disusutkan sekaligus pada tahun ke-4 (tahun terakhir).
Untuk satu aktiva, Wajib Pajak hanya boleh memilih satu metode penyusutan dan metode itu harus diterapkan secara konsisten atau taat azas. Jika Wajib Pajak memiliki dua aktiva berbeda, maka kedua asset itu bisa dipilih metode yang berbeda-beda. Misalnya untuk asset A dipilih Metode Garis Lurus, sedangkan untuk asset B dipilih Metode Saldo Menurun. Jika Wajib Pajak hendak mengubah metode penyusutannya, Wajib Pajak terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (6) UU KUP. Lihat juga SE-40/PJ.42/1998 dan SE-14/PJ.313/1991.

Saat Dimulainya Penyusutan
Penyusutan fiskal dimulai pada bulan terjadinya pengeluaran. Meski pengeluaran itu terjadi diakhir bulan misalnya, maka secara fiskal atas asset tersebut berhak mendapat penyusutan.
Misalnya jika kita membeli komputer di bulan September 2012 seharga Rp 10.000.000,00, maka untuk tahun pajak 2012 komputer tersebut boleh disusutkan sebanyak 4 bulan (terhitung mulai September hingga Desember). Dengan menggunakan Metode Garis Lurus misalnya, penyusutan komputer untuk tahun 2012 dihitung sebesar = (Rp 10.000.000,00/4 tahun) x 4/12 = Rp 833.333,00.
Khusus untuk asset yang masih dalam proses pengerjaan, misalnya bangunan yang masih dalam proses pembangunan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan asset tersebut [Pasal 11 ayat (3) UU PPh].
Dalam kondisi tertentu bahkan dimungkinkan untuk Wajib Pajak mengajukan permohonan agar penyusutan atas asset tersebut dimulai pada saat harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada saat asset itu menghasilkan. Misalnya bagi Wajib Pajak perkebunan di mana pada tahun pertama penanaman hingga tahun ketiga atau keempat belum menghasilkan panen. Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak agar biaya-biaya usaha yang telah dikeluarkan sebelum masa panen ditunda pembebanannya hingga saat panen dan memperoleh penghasilan (income).
Sumber: https://armuhammad.wordpress.com/2012/09/21/penyusutan-fiskal/

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.